Wacana memungut pajak pada komoditas sembako dan jasa pendidikan menyeruak di masyarakat. Sontak, hal ini membuat masyarakat resah. Jika pengenaan pajak terhadap sembako dan jasa pendidikan benar adanya, tentu akan membuat rakyat semakin kesulitan. Apalagi di tengah kondisi perekonomian yang terpukul akibat pandemi covid-19. Padahal, negeri kita adalah negeri kaya akan sumber daya alam, negeri gemah ripah repeh rapih. Seharusnya subur makmur, sejahtera, tenteram, cukup sandang, dan cukup pangan mewujud dalam kenyataan kehidupan.
Diklaim, pemasukan dari pajak akan masuk ke kas negara dan dikembalikan kepada rakyat lagi. Namun, seiring meningginya hutang negara serta banyaknya kasus korupsi yang terungkap, klaim ini menjadi sulit untuk dipercaya realisasinya. Yang jelas, rakyat akan semakin merasakan penderitaan dengan penerapan pajak, apalagi menyentuh kebutuhan asasi yaitu pangan dan pendidikan.
Hal ini disebabkan tata kelola oleh sistem kapitalisme yang menjadikan kekayaan alam negeri ini dikuasai oleh segelintir pihak yaitu para pemilik modal. Dengan modal yang dimiliki, para kapital seolah diberi hak untuk mengeruk kekayaan alam sebanyak-banyaknya, tanpa batasan kepemilikan. Akibatnya, kekayaan bertumpu pada para kapital. Dan rakyat hanya menikmati sebagian kecilnya.
Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Maka, berbagai hal ditempuh untuk menggenjot pemasukan dari sektor ini. Sehingga tidak aneh, jika akhirnya berbagai aspek dikenani pajak termasuk kemungkinan nantinya sembako dan jasa pendidikan.
Kapitalisme berasal dari asas sekulerisme, yakni memisahkan urusan kehidupan dari agama. Manifestasinya, aturan yang dibuat bukan berasal dari Pencipta manusia, namun diserahkan kepada manusia. Padahal, manusia serba terbatas, subyektif, dan berpotensi konflik. Maka wajar jika ditemukan berbagai kebijakan yang lebih berpihak kepada sebagian golongan (para pemilik modal). Adapun rakyat kebanyakan dinomorsekiankan.
Sehingga jelaslah, sistem kapitalisme menyebabkan kerusakan tata kelola dalam kehidupan dan menjauhkan kesejahteraan dari masyarakat. Maha Benar Allah dalam firmanNya dalam Alqur’an Surat Ar-Rum ayat 41:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Adapun Islam, menjamin kesejahteraan masyarakat tanpa bergantung kepada pajak. Bahkan, meniadakan pajak. Mengapa demikian?
Rahasianya ada pada sistem Islam yang mengatur urusan kehidupan. Sistem Islam bersumber pada Al-Khaliq Al-Mudabbir (Maha Pencipta Maha Pengatur). Sebagai Pencipta manusia, aturan-aturan yang bersumber kepadaNya menjamin keadilan dan kebaikan untuk manusia. Diantaranya bisa dilihat dalam konsep-konsep Islam berikut:
Pertama, konsep Islam terkait pembagian tiga kepemilikan. Yakni kepemilikan umum (rakyat secara bersama), kepemilikan negara, dan kepemilikan pribadi.
Kepemilikan umum berdasarkan hadits Nabi SAW:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, api, dan padang gembalaan. ”
Air yang dimaksud adalah sumber daya air berupa laut, sungai, dan danau. Api yang dimaksud berupa barang tambang seperti minyak bumi, batu bara, gas, dan lain-lain. Padang gembala (vegetasi) berupa hutan dan padang rumput. Ketiga hal ini merupakan milik rakyat dan dikelola oleh negara. Hasilnya digunakan untuk memenuhi hajat hidup rakyat seperti kesehatan dan pendidikan secara gratis.
Selain tiga sumber daya di atas seperti emas, timah, nikel, dan lain-lain merupakan milik negara. Digunakan untuk membangun negara dan membiayai operasional negara.
Adapun industri yang terkait dengan hajat hidup orang banyak seperti listrik, telekomunikasi, transportasi, dan lain-lain dikelola oleh negara.
Selain industri di atas, rakyat secara individual dibolehkan memiliki bisnis, selama halal dalam pandangan syariat Islam.
Kedua, konsep pungutan dharibah, yang seringkali diartikan sebagai pajak, pada prinsipnya sangat berbeda dengan penerapan pajak pada sistem kapitalisme. Dharibah dipungut negara pada saat kas negara kosong. Hal ini bisa terjadi saat kondisi yang sangat sulit misalnya saat bencana berkepanjangan. Maka negara akan memungut kepada golongan kaya di antara kaum muslimin. adapun orang-orang miskin dan orang-orang kafir dibebaskan dari pungutan ini. Ini merupakan bentuk shadaqah kaum muslimin dari golongan kaya. Dan apabila kondisi kas baitul mal sudah kembali normal, dharibah pun dihentikan. (Sistem Ekonomi Islam, hal 333)
Ketiga, konsep Islam yang menjadikan peran imam/pemimpin negara sebagai pengelola urusan rakyat. Hal ini sebagaimana hadits Nabi SAW berbunyi:
” Imam (kepala negara) adalah ra’in (pengelola urusan masyarakat), dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas pengurusannya”
Maka, imam/pemimpin seharusnya menjauh dari ambisi dunia karena menyadari bahwa amanah yang ada di pundaknya akan diminta pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT. Sebagaimana hadits Nabi SAW :
“Barangsiapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum muslimin namun ia menutup diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah tidak akan memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya di hari kiamat”. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Sistem Islam terbukti mampu mengantarkan masyarakat ke arah kebaikan dan keadilan. Sistem ini telah dijalankan sejak masa Nabi SAW dan khalifah Abu Bakar RA. Dan disaat Islam semakin menyebar dan wilayah Islam semakin meluas yakni pada masa khalifah Umar Bin Al-Khattab RA dan setelahnya, sistem Islam tetap diberlakukan, dengan manajemen yang lebih rapi.
Dengan ketiga prinsip tersebut, maka rakyat baik muslim maupun nonmuslim terjamin terpenuhi kesejahteraannya, tanpa pajak dan hutang. Sehingga akan lebih tenang dalam menjalani kehidupan, berkarya dan berkarya, sehingga mampu berkontribusi dalam membangun peradaban bangsa secara optimal.
Inilah wujud keberkahan hidup, saat taat kepada aturan-aturanNya.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. ” (QS. Al-A’raf : 96)