Opini Oleh : Sri Wardhati

Mahasiswi Fakultas Hukum

Universitas Pamulang

Awal dari bulan Januari 2023, tepatnya tanggal 09 Januari 2023, 8 pimpinan Partai Politik (Parpol) bertemu dan menyatakan sikapnya terkait sistem dalam Pemilihan Umum (Pemilu) yang menolak sistem proporsional tertutup dimana sistem proporsional tertutup adalah memilih wakil rakyat berdasarkan Partai bukan berdasarkan nama calon legislative.

Kedelapan partai politik tersebut diantaranya partai Golkar, Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Parta Persatuan Pembangunan (PPP). Didalam sistem proporsional tertutup, parpol mengajukan daftar nama calon yang disusun berdasarkan nomor urut. Untuk nomor urut sendiri ditentukan oleh parpol melalui sistem proporsional tertutup, setiap parpol memberikan daftar kandidatnya dengan jumlah yang lebih dibanding jumlah kursi yang dialokasikan untuk satu daerah pemilihan (Dapil).

Dalam proses tersebut muncul isu penundaan Pemilu 2024, yang digulirkan pertama kali oleh Menteri Investasi Bahlil Lahaladia pada 31 Januari 2022 disela rapat kerja dengan Komisi VI DPR. Isu ini digulirkan karena ingin memberikan kepastian di dunia bisnis khususnya bagi pengusaha, supaya kegaduhan politik tidak mengganggu dunia usaha yang baru mulai bangkit setelah pandemi.

Usulan tersebut disambut baik oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang mengatakan penundaan pemilu 2024 selama 1-2 tahun lebih memberikan kepastian pelaku usaha yang sedang menggeliat setelah terpuruk akibat pandemi selama 3 tahun.

Demikian pula Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartato, dan Ketua PAN, Zulkifli Hasan menyambut positip mengenai Penundaan Pemilu 2024, namun ada 3 partai politik yang mendukung pemerintah untuk menolak usulan penundaan tersebu. Mereka adalah Nasdem, PDI Perjuangan dan PPP. Serta partai DEMOKRAT dan PKS secaa eksplisit juga menolaknya

Terkait hasil Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Tanggal 2 Maret 2023 yang memenangkan gugatan perdata Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) terhadap tergugat Komisi Pemilihan Umum (KPU). Keputusannya yakni menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak keputusan tersebut diucapkan, serta melaksanakan tahapan Pemilu dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari. Keputusan tersebut dilandasi oleh gugatan perdata Partai PRIMA kepada KPU yang merasa dirugikan oleh KPU karena dinyatakan tidak lolos administrasi untuk mengikuti kontestasi Pemilu 2024. Banyak pihak menilai putusan ini sangat kontroversial, aneh dan keliru.

Ketidak wenangan dari PN untuk mengadili perkara pemilu, hingga penetapan penundaan pemilu yang memang bukan ranah PN melainkan melalui Peraturan KPU. Dengan keluarnya putusan ini semakin menguatkan adanya wacana penundaan pemilu yang sudah santer terdengar beberapa waktu sebelumnya yang justru menimbulkan kegaduhan dan reaksi keras dari berbagai kalangan.

Tahapan pemilihan Presiden dan pemilihan kepala daerah. Dimulai dari 14 Juni 2022 dari perencanaan program dan anggaran dan dilanjutkan tahapan yang lain hingga Pemilihan umum 14 Februari 2024 dengan di lanjutkan Pengucapan sumpah/Janji Presiden dan wakil Presiden 20 Oktober 2024. Artinya Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menyusun dan menjadwalkan setiap tahapan berdasarkan dasar hukum dari Undang-undang No.7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Indonesia masih kesulitan dalam mewujudkan Demokrasi yang sesungguhnya, karena beberapa alasan dimana masih terjadinya penempatan purnawirawan dan pejabat aktif TNI dan Polri dalam struktur eksekutif dan banyaknya penempatan para anggota kabinet yang diwakili oleh para pemenang partai terbanyak di DPR RI. Hal ini yang membuat Demokrasi belum berjalan dengan baik.

Beberapa orang mengatakan Negara kita adalah negara Demokrasi namum pola pemerintahan ala Orde Baru justru semakin berkembang. Dalam wujud dinasti politik, jaringan patronase, orang-orang kuat di daerah (local strongmen) dan privilege. Praktik tersebut semmakin nyata, terutama mendekati perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ditetapkan KPU ada tiga pasangan calon :

  1. Anies Rasyid Baswedan dengan Abdul Muhaimin Iskandar
  2. Prabowo Subianto Djojohadikusumo dengan Gibran Rakabuming Raka
  3. Ganjar Pranowo dengan Mohammad Mahfud Mahmodin

Proses penentuan paslon tersebut juga dipenuhi dengan intrik politik yang sangat nyata, bukan hanya elite partai yang bermanuver, tapi juga pejabat eksekutif dan yudikatif juga terlibat, bahkan sampai mengubah peraturan perundang-undangan.

Pengabulan gugatan terkait batas minimal usia calon presiden / wakil presiden dan penolakan gugatan batas usia maksimal calon presiden oleh Mahkamah Konstitusi. Fenomena ini tentu sangat memprihatinkan dan akan mengancam kualitas demokrasi. Pemilu 2024 menjadi ujian, atau menjadi ancaman bagi demokrasi Indonesia.

A.Munculnya Dinasti Politik dan Penyalahgunaan Kekuasaan

Di Indonesia, fenomena dinasti politik menjadi semakin marak, baik di tingkat daerah maupun nasional, sebagai contoh:Dinasti Politik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, dan sekarang ramai diperbincangkan adalah Dinasti Politik Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Padahal, dinasti politik bisa merusak prinsip meritokrasi (berlandaskan pada prestasi dan kompetensi) dan persaingan yang adil dalam politik, serta kualitas kaderisasi partai politik.

Saat ini tampaknya pemerintah, dan jaringan dinasti politiknya, telah menguasai arena penting, yakni legislatif, yudikatif dan eksekutif. Hanya satu arena yang belum dikuasai sepenuhnya, yaitu media.

  1. Conflict of Interest

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, MK menyatakan seseorang yang di bawah usia 40 tahun bisa menjadi capres maupun cawapres asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.

Atas keputusan MK tersebut adalah bukti nyata adanya  konflik kepentingan di tubuh lembaga Peradilan. Sebelum pemilihan presiden, ketua MK Anwar Usman yang merupakan saudara ipar  dari Presiden Jokowidodo mampu mempengaruhi putusan Hakim lainnya agar anak sulung Jokowi, Gibrang Rakabuming Raka yang notabene merupakan keponakannya sendiri,  lolos dalam memenuhi syarat maju dalam kontestasi Pilpres.

Namun, sebelum kontroversi kepentingan politik keluarga Jokowi ini, Indonesia juga sudah dikenal dengan banyaknya pejabat yang terlibat dalam konflik kepentingan dalam kontestasi politik.

  1. Mengabaikan kaderisasi di tubuh partai

Gibran Rakabuming Raka yang maju sebagai sebagai cawapres termuda dalam sejarah pemilu Indonesia. Namun, fenomena “mengutamakan yang muda” tidak hanya terjadi pada Gibran.

Demikian juga Sama halnya dengan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep yang didapuk menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam hitungan hari sejak mulai masuk ke dunia politik.

Usia bukanlah jaminan bahwa seseorang layak untuk memimpin. Terlebih jika kandidat terpilih melalui jalur yang merusak demokrasi, seperti privilege dan dinasti.

Padahal di Indonesia sudah memiliki sistem partai politik, yang punya skema kaderisasi untuk mencetak kaum muda berprestasi untuk menjadi pemimpin. Cara ini yang sesuai dalam sistem demokrasi. “Menyelipkan” anggota keluarga tanpa proses kaderisasi partai terlebih dahulu, justru akan merusak kualitas demokrasi.

  1. Meritokrasi Dengan Cara Nepotisme

Meritokrasi (cara memperoleh kekuasaan berdasarkan prestasi, kecerdasan dan usaha) seharusnya menjadi salah satu cara utama untuk mencetak pemimpin masa depan. Melalui Meritokrasi, Pemimpin dapat membangun struktur pemerintahan yang didasarkan pada kemampuan dan prestasi individu, bukan hanya berdasarkan faktor politik atau nepotisme.

Pada era ketidakpastian global saat ini, penting memilih pemimpin dari jalur meritokrasi agar benar-benar memahami pengetahuan akan tantangan kompleks seperti perubahan iklim, ekonomi global dan krisis kesehatan. Pemimpin muda diharapkan dapat membuat keputusan yang bijak, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang dan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya kepentingan individu, kelompok, atau golongan tertentu.

 Pemilih Cerdas

Pemilu bukanlah ajang bersantai-santai. Memilih pemimpin masa depan bukanlah perkara sepele. Jika pemilih membuat kesalahan dalam memilih calon pemimpin, ada kemungkinan besar mimpi Indonesia emas akan sulit terwujud dan generasi muda dapat saja menjadi kelompok yang paling terdampak karena pemimpin mereka terpilih dari jalur yang tidak semestinya.

Pemilihan Umum 2024 diharapkan menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat kembali bangunan demokrasinya yang cenderung melemah dalam beberapa tahun terakhir ini. Komitmen ini dihadapkan pada tantangan terkait perilaku politik yang justru menggerus cita-cita demokrasi tersebut.

Ada tiga lembaga yang mengukur indeks demokrasi di sejumlah negara. Tiga indeks ini bisa menjadi acuan bagaimana wajah demokrasi di Indonesia sebagai salah satu negara yang diukur.

Sementara jika merujuk Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang diukur oleh sejumlah lembaga di dalam negeri, di antaranya BPS dan Bappenas, secara umum demokrasi Indonesia masuk kategori sedang, meskipun dengan model pengukuran terbaru sejak 2022 demokrasi Indonesia masuk kategori baik.

Dari tiga lembaga tersebut, jika ditarik benang merah, demokrasi di Indonesia memang belum masuk pada tahap yang stabil dan terkonsolidasi dengan baik. Sejumlah peristiwa politik dan hukum kerap menjadi ”beban” bagi jalannya proses demokrasi di Indonesia.

Sepanjang 2023, misalnya, bagaimana sorotan publik pada institusi hukum yang dibalut politik cukup mewarnai sehingga isu pada erosi demokrasi Indonesia makin mencuat.

Dua isu yang cukup menyita perhatian publik adalah terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap putusan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang membuat heboh publik.

Isu lain adalah soal pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kian hari makin menurun akibat kasus hukum yang menjerat ketuanya. Dalam catatan Litbang Kompas, dua lembaga hasil dari buah reformasi ini pun cenderung merosot citranya.

Apa yang terjadi di tubuh MK dan KPK menjadi gambaran bahwa dua institusi yang merupakan produk reformasi sebagai bagian dari arus demokratisasi di Indonesia pun tak bisa lepas dari erosi. Hal yang sama pada akhirnya juga tergambar, bagaimana wajah demokrasi Indonesia cenderung merosot dalam beberapa tahun terakhir ini.

Pemilu 2024 semestinya menjadi momentum untuk kembali menguatkan bangunan demokrasi Indonesia.

”Hal ini terlihat dari problema intervensi aparatur negara, netralitas ASN, cawe-cawe kekuasaan, dan problem dari penyelenggara pemilu yang kesemuanya berlangsung menjelang Pilpres 2024.

Kondisi ini memperlihatkan ancaman yang bisa menggerus konsolidasi demokrasi

Pada akhirnya, Pemilu 2024 menjadi pertaruhan, apakah demokrasi Indonesia benar-benar bisa naik kelas dengan mengedepankan nilai-nilai demokrasi atau justru terjebak pada perilaku-perilaku politik yang menggerus bangunan demokrasi itu sendiri. Bagaimanapun, pelaksanaan pemilu akan menjadi salah satu pilar bagi tegaknya bangunan demokrasi di Indonesia.

Loading

By redaksi