Penulis :

Fanny Faddillah Suryatama

Fakultas Hukum

Universitas Pamulang

Perpolitikan di Indonesia pasca orde baru ditandai dengan perubahan yang sangat siginifikan dalam sistem politiknya. Pemilu secara demokratis, sistem kepartaian multi partai, media diberikan kebebasan yang seluas-luasnya.

Di level politik lokal UU nomor 32 tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi daerah pun berpengaruh karena kepala daerah yang tadinya dipilih oleh DPRD menjadi langsung dipilih oleh rakyat melalui pemilukada (pemilihan umum kepala daerah. Dalam Pemilihan Umum secara demokatis, munculah trend baru dalam dunia politi yaitu trend memakai lembaga survey untuk melihat kekuatan kandidat.

Lembaga survey tidak hanya sebagai lembaga research ansich namun menjadi konsultan politik dalam usaha memenangkan kandidat yang membiayainya. Trend ini diawali oleh dibentuknya lembaga Survey Indonesia (LSI) menjelang pemilu 2004 oleh dua lulusan Ohio State University,Amerika Serikat, yakni Dr. Syaiful Muzani dan Dr Denny JA (yang kemudian keluar dari LSI dan mendirikan lingkaran Survey Indonesia). Selanjutnya lembaga-lembaga survey tumbuh bak jamur di musim hujan dari pusat hingga daerah.

Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi untuk menentukan seorang calon pemimpin masa depan telah digunakan sebagian negara di dunia termasuk Indonesia. Penyelenggaraan pemilihan umum secara periodik di Indonesia sudah berlangsung sejak awal kemerdekaan bangsa ini, tetapi proses demokrasi lewat pemilihan umum yang terdahulu belum mampu menyamakan nilai-nilai demokrasi yang matang. Hal itu disebabkan sistem politik yang otoriter. Harapan untuk menemukan format demokrasi yang ideal mulai nampak sejak penyelenggaraan pemilihan umum 2004 lalu yang berjalan cukup relatif lancar dan aman.

Sepanjang tahun 2021, telah banyak lembaga survei yang merilis hasil survey terkait pelaksanaan pemilu, baik popularitas calon pemimpin dan elektabilitas dari partai politik pengusung, misalnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang merilis hasil survei dengan judul “Evaluasi Publik terhadap Kondisi Nasional dan Peta Awal Pemilu 2024” di bulan Februari. Poltracking Indonesia yang juga merilis hasil survei di bulan Oktober dengan judul “Evaluasi 2 Tahun Pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin & Peta Politik Elektoral Pilpres 2024”.

Walaupun masih cukup lama pelaksanaan Pemilu, namun hasil survei memiliki dampak signifikansi terkait peta politik Indonesia jelang pemilu tahun 2024 lalu.

Pertama, hasil survei merupakan produk ilmiah, sehingga memiliki legitimasi. Hasil survei lebih dipercayai publik karena dilakukan dengan metode yang teruji dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, para pimpinan lembaga survei juga merupakan orang-orang yang kredibel di bidangnya.

Hasil survei tidak hanya memberikan kepercayaan bagi publik, namun juga bagi kandidat calon pemimpin ataupun partai politik pengusung.

Kedua, hasil survei dapat meningkatkan kesadaran calon pemimpin terkait popularitas dan elektabilitas. Sebagai contoh, salah seorang calon pemimpin yang awalnya tidak memiliki niatan untuk ikut kontestasi di Pemilu 2024, ternyata berdasarkan hasil survei memiliki elektabilitas yang cukup tinggi. Alhasil, kandidat tersebut berubah pikiran dan berbagai partai politik pun mendekatinya agar dimajukan sebagai calon pemimpin dalam Pemilu 2024.

Di sisi lain, kandidat yang memiliki niatan untuk maju dalam kontestasi pemilu, namun jika hasil survei menunjukkan angka yang tidak menjanjikan, maka kandidat tersebut dapat membuat strategi lain untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas, atau mengurungkan niatnya untuk maju dalam kancah Politik.

Ketiga, hasil survei dapat menjadi data bagi partai politik pengusung dalam proses seleksi calon, mulai dari legislative hingga calon presiden.

Gallagher and Marsh´s (1988) menyebutkan bahwa rekrutmen politik sebagai “secret garden of politics”. Hal ini didasarkan aturan internal partai di mana hak prerogatif untuk menentukan kandidat hanya dimiliki oleh elit partai politik saja. Bahkan di beberapa partai politik, hak ini hanya dimiliki oleh ketua umum, sekretaris jenderal, dan badan pemenangan pemilu partai politik di tingkat pusat.

Oleh karena itu, hasil survei dapat dijadikan rujukan bagi elit partai politik dalam menentukan kandidat. Dengan demikian, proses seleksi kandidat tidak hanya berdasarkan “kedekatan”, namun juga sesuai dengan realitas yang ada.

Keempat, hasil survei dapat membentuk opini publik dan memunculkan “bandwagon effect”. Ketika seorang kandidat mendapatkan hasil survei yang cukup tinggi, opini publik akan terbentuk bahwa kandidat tersebut yang akan memenangi pemilu. Alhasil, pragmatisme partai politik akan muncul dengan berusaha mendekatkan diri kepada kandidat tersebut. Hal ini akan memunculkan “bandwagon effect”, yaitu efek ikut-ikutan seseorang karena semua orang melakukannya terlepas dari bukti yang mendasarinya (Schmitt-Beck, 2015). Dengan begitu, pemilih yang semula belum menentukan pilihan, kini akan memilih calon yang paling berpotensi menang berdasarkan hasil survei.

Peranan survei jelang pemilu ini ternyata juga berpotensi menimbulkan sejumlah masalah. Misalnya, terkait survei pesanan yang mengabaikan hasil survei sebenarnya, profesionalisme lembaga survei, dan metodologi ilmiah survei. Pada dasarnya, sah saja jika lembaga survei dibayar oleh klien seperti partai politik maupun kandidat. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika survei tersebut merupakan pesanan dan dipublikasikan kepada publik. Dikhawatirkan, hasil survei hanya digunakan untuk menggiring opini publik semata ataupun menjegal lawan politik.

Selain itu, saling klaim kemenangan antar kandidat juga bisa menjadi persoalan yang merupakan dampak dari hasil survei.

Seperti diketahui, pada Pemilihan Presiden tahun 2014 dan 2019 lalu, di mana kedua pasangan calon presiden saling mengklaim kemenangannya berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh masing-masing calon. Apalagi, hasil survei menunjukkan kemenangan yang sangat tipis, sehingga rentan akan kesalahan. Dampaknya, terjadi konflik antar kandidat dan para pendukungnya.

Saling klaim yang dilakukan oleh kandidat ini dikarenakan hasil “quick count” lembaga survei yang dijadikan rujukan karena kecepatan penghitungan yang dilakukan oleh lembaga survei.

Namun demikian, kehadiran lembaga survei sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang tertera pada Pasal 435 hingga Pasal 447 dalam bab Pemantau Pemilu. Kehadiran lembaga survei juga mengindikasikan bahwa perpolitikan Indonesia sudah berbasis data dan ilmiah. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa lembaga survei yang terdaftar dan diakui harus kredibel dengan alat ukur yang jelas serta dapat dipertanggungjawabkan. Jangan sampai, lembaga survei hanya dipakai oleh sekelompok orang atau partai politik untuk kepentingan pribadi.

Lembaga Survei Diminta Transparan

Dalam setiap hasil survey, lembaga survei diminta berani mengungkapkan identitas diri, metode penelitian, serta dengan siapa lembaga tersebut bekerja sama, agar prinsip transparansi dan akuntabilitas bisa tercapai.

Peran masyarakat

Masyarakat harus memastikan bahwa lembaga survei yang melaksanakan penelitian tidak melakukan manipulasi hasil. Makanya, lembaga survei juga diminta untuk menginformasikan dengan siapa mereka bekerja sama dalam melakukan survei.

Pasal 245 UU No. 10 Tahun 2008 yang menjelaskan :

1.Partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang pemilu, dan penghitungan cepat hasil pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur oleh KPU.

2.Pengumuman hasil survey atau jajak pendapat tidak boleh dilakukan pada masa tenang.

3.Pengumuman hasil penghitungan cepat hanya boleh dilakukan paling cepat pada hari  berikutnya dari hari/tanggal pemungutan suara.

4.Pelaksana kegiatan penghitungan cepat wajib memberitahukan metodologi yang digunakannya dan hasil penghitungan cepat yang dilakukannya bukan merupakan hasil resmi penyelenggaraan pemilu.

5.Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan tindak pidana pemilu.

Kedepannya pemerintah diharapkan bisa hadir untuk mengatasi masalah survei menjelang pelaksanaan Pemilu. Diperlukan regulasi yang jelas dalam mengatur lembaga survei agar dapat memastikan bahwa lembaga survei tersebut menggunakan metode yang tepat dan dapat dipercaya.

Lembaga survei seharusnya mampu menjaga kapabilitasnya. Angka dan data yang diumumkan kepada masyarakat haruslah hasil temuan lapangan. Ada dua fungsi dalam survei; pertama yaitu untuk internal tim sukses dengan survei tersebut mereka akan melakukan perencanaan baru. Untuk hasil yang sudah bagus mereka akan mempertahankan itu. Kalau masih kurang, mereka akan menggunakan strategi baru untuk menggenjot perolehan suara. Sementara fungsi eksternalnya adalah untuk menginformasikan kepada publik mengenai tingkat elektabilitas terbaru dari pasangan calon. Meskipun demikian, pengaruh tingkat elektabilitas dari publikasi hasil survei tidak menjadi tujuan utama. Tim sukses harus mampu menjaga opini publik tetap positif terhadap pasangan calon yang mereka usung, bagaimanapun hasil survei yang akan keluar nantinya.

 

Loading

By redaksi