Belitung Timur | Detak Media.com

Sembahyang rebut atau Chiong Si Ku sebenarnya berawal dari perayaan sembahyang arwah leluhur atau Zhōng yuán jié (中元节).

Sembahyang rebut merupakan salah satu perayaan terbesar bagi masyarakat peranakkan Tionghoa penganut Konghucu di Indonesia yang jatuh pada Chit ngiat pan (七月半-Qī yuè bàn)-tanggal 15 bulan 7 penanggalan kalender Cina. Minggu (17/08/2024)

Abc selaku masyarakat Tionghoa mengatakan, makna dari sembahyang rebut yaitu selain sebagai wujud laku bakti, juga supaya dapat menghindari kenaasan selama tahun tersebut dengan meminta perlindungan leluhur. Di Kelenteng Dharma Suci Manggar Belitung Timur, walaupun perayaan sembahyang rebut sarat akan nilai agamis Konghucu, namun peran masyarakat masyarakat non-Tionghoa dan non-Konghucu menjadi sangat penting dalam penyelenggaraan sembahyang rebut ini, terang ABC.

Lebih lanjut membahas mengenai gambaran tentang sembahyang rebut, proses dan tata cara perayaan sembahyang rebut, makna sembahyang rebut bagi masyarakat keturunan Tionghoa dan non-Tionghoa, serta peran masyarakat setempat dalam perayaan sembahyang rebut.

“Festival yang rutin dirayakan oleh masyarakat tionghoa di Manggar kabupaten Belitung Timur. Festival ini dirayakan tiap tanggal 15 Bulan 7 Penanggalan Kalender China. Di hari Sembahyang Rebut masyarakat melakukan persembahan seperti umbi-umbian, kacang, sayuran dan buah hasil pertanian di depan altar Thai Se Ja. Thai Se Ja sendiri merupakan perwujudan dari raja akhirat yang buat sedemikian rupa berbentuk patung setinggi ± 6 Meter,” terang Abc.

Sembahyang ini dimaksudkan untuk menghormati leluhur yang dikenali dan arwah leluhur yang tidak dikenali dan menurut kepercayaan Konghucu bulan ke tujuh merupakan bulan yang harus di jaga keseimbangannya karena ada saatnya kita menerima dan ada saatnya kita memberi, sehingga antara Yin dan Yang itu bisa seimbang.

Menurut ABC, Rangkaian acara dari festival ini yaitu adanya doa-doa bagi umat Konghucu dan persembahan makanan hasil pertanian yang diisi di altar bersama patung raja hantu. Kemudian masyarakat dapat merebutkan makanan tersebut di altar sesajen.

“Sementara gangguan dan godaan umat manusia disimbolkan dengan dibangunnya replika sosok raja hantu tersebut pada akhirnya ke acara puncak yaitu membakar patung dan semua yang ada di altar tersebut, yang memberikan nuansa hangat di malam hari dengan kobaran api tersebut. Kegiatan ini dilakukan agar umat manusia dapat saling mengerti dan berbagi satu sama lain,” kata ABC. (Tomy)

Loading