Diplomasi budaya melalui batik rancangan Gubernur Jawa Barat Mochamad Ridwan Kamil untuk dua personel boyband Super Junior yaitu Leeteuk dan Yesung mendapatkan sorotan positif dari news.naver.com yang merupakan agensi berita online terbesar di Korea Selatan yang dioperasikan oleh Naver Corporation.
Batik yang dikenakan oleh Leeteuk dan Yesung merupakan batik dengan motif Garuda Kujang Kencana dengan kombinasi Mega Mendung dan Kawung. Batik ini didesain khusus oleh Ridwan Kamil, sebagai hadiah bagi para duta besar yang berkunjung ke rumah dinas Gedung Negara Pakuan. (Jabarprov.go.id, 26/5/2021)
Adanya inklusi budaya antara Jabar dan Korsel akan membawa anak negeri ini terbawa oleh arus Korean wave. Karena jika kita berbicara K-Wave, bukan hanya berbicara etos kerja semata, melainkan sepaket dengan budaya permisif dan liberal yang menjadi ruh industri mereka. Bahkan etos kerja yang dibanggakannya pun patut dipertanyakan landasan dan kesesuaiannya dengan fitrah manusia.
Industri hiburan Korsel tak kalah “panasnya” dengan Industri Barat. Budaya “terbuka” yang dipertontonkan telah menjadikan syahwat sebagai segala-galanya dan moral tak ada artinya. Girl band dan boy band dari negeri itu memang tak pernah tanggung dalam fesyen dan koreonya. Minimnya pakaian dan gerakan mereka yang vulgar adalah tuntutan profesionalitas dalam industri yang mendewakan syahwat.
Film dan drama tak kalah dahsyatnya. Kehidupan materialistis yang disodorkan drakor, sukses membius penontonnya untuk berhalusinasi. Tak jarang para penikmat hallyu bermutasi menuju Korean Style yang hedonis dan materialistis. Sehingga jangan salah, etos kerja yang tinggi jika landasannya adalah materi, akan menyebabkan malapetaka besar.
Tingginya angka kasus bunuh diri di Korsel buktinya, sebagian besar diakibatkan depresi. Tekanan kerja, tekanan belajar, hingga tekanan kehidupan rumah tangga, semua itu menjadikan mereka ingin mengakhiri hidupnya. Begitu juga kehidupan laki-laki dan perempuan yang begitu bebas di sana. Pacaran dan seks bebas adalah hal yang dibanggakan. Pemerintahannya sendiri bahkan melegalkan seks bebas “meski” dibatasi minimal usia 16 tahun. Artinya, jika pelaku di atas 16 tahun tidak dipandang tindakan asusila.
Budaya mabuk miras juga hal yang dipopulerkan K-Wave. Mabuk dianggap solusi jitu mengatasi kesedihan dan cara asyik bersenang-senang. Tercatat, Korsel adalah salah satu negara dengan konsumsi alkohol tertinggi di dunia. Sayangnya, alih-alih memfilter, pemerintah malah membuka kran selebar-lebarnya bagi invasi budaya dari Timur ini lewat industri film dan musik, merajai Indonesia dan menghancurkan aset bangsa yang begitu berharga.
Support system pemerintahan Korsel dalam menciptakan demam K-Wave bisa berlangsung lama dan mewabah pada tingkat yang sangat parah. Hal demikian dibutuhkan sejumlah Industri untuk terus bergerak dan tumbuh.
Misalnya, mengapa fenomena fandom seperti terus dilestarikan? Karena industri hiburan butuh konsumen loyal untuk membeli merchandise yang sudah disiapkan. Fandom dibutuhkan untuk memopulerkan sang idola yang rupawan. Mengapa harus rupawan? Karena ada industri kosmetik dan kecantikan yang membutuhkan endorse produknya.
Dunia fesyen tak kalah sibuknya, busana sang idola menjadi barang yang dicari masyarakat. Industri pariwisata pun ambil bagian, kuliner ala Korsel dan tempat-tempat indah yang dijajaki pemain drakor menjadi persuasi tersendiri bagi industri pariwisata.
Produksi drakor yang masif turut membuat budaya liberal dan permisif makin tertancap kuat dalam benak masyarakat Indonesia. Alhasil, preferensi umat muslim tak beda dengan orang-orang kafir. Hingga akhirnya kaum muslim lebih menyenangi sesuatu yang berasal dari budaya Korsel daripada budaya agamanya sendiri. Cara makan, berbusana, hingga cara pandang tentang kehidupan pun mengikuti orang-orang kafir.
Diplomasi budaya di tengah pandemi, akankah menyelesaikan problematika di negeri ini? Hubungan bilateral dengan Korea justru akan semakin menjadikan Jabar sebagai incaran bagi hegemoni kapitalisme. Atas nama diplomasi hubungan baik bilateral dua negara, relakah mengorbankan moral anak bangsa? Lantas bagaimana agar Umat Muslim mampu menghadang K-Wave?
Pertama, harus dipahami bahwa budaya K-Wave tak beda dengan budaya Barat. Keduanya lahir dari ideologi yang sama, kapitalisme sekuler. Hanya berbeda casing-nya saja.
Kedua, invasi budaya K-Wave merupakan serangan sistemis dari segala sektor. Oleh karena itu, butuh lebih dari sekadar benteng keimanan individu, yaitu benteng pertahanan negara yang dengan segenap kekuatannya mampu menjadi perisai umat dari segala macam marabahaya.
Negara akan mengatur konten apa saja yang boleh masuk dan diakses kaum muslim, terutama generasi. Hanya konten baik dan berkualitas yang akan sampai ke umat. Selain melindungi umat dari gempuran budaya kufur, Negara pun bertugas menjaga jawil iman (kondisi keimanan) masyarakatnya.
Ketiga, standar baik dan buruk tidak ditentukan manusia. Akal yang lemah akan menghantarkan standar nilai yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, wajib menyandarkan standar baik dan buruk pada Sang Pemilik manusia. Allah SWT telah menurunkan Alquran dan mengutus Rasulullah SAW. agar umat manusia bisa menjalankan kehidupan sesuai fitrah.
Tak ada bentuk pemerintahan lain selain sistem pemerintahan Islam yang menjadikan standar baik dan buruk hanyalah dari Allah SWT. Sistem Islam pun akan fokus dalam menyelesaikan suatu problematika kehidupan manusia tanpa ada gimmick yang tak perlu. Maka, dengan penerapan syariat kaffah, negara akan mampu menghalau K-Wave, bahkan menciptakan “Islam Wave” di tengah kehidupan umat manusia. Mari kita perjuangkan dan terapkan syariat-Nya. Wallahu a’lam bishshawab.
Oleh: Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka dan Member Writing Class With Has)